Aku Merasa, Hanya Akulah Manusia di Dunia yang Mengalami Kepedihan
“Cerita ini adalah kisah nyata seorang anak
manusia yang ingin berbagi ceritanya kepada para readers. Syukur-syukur jika
ada pembelajaran atau hikmah yang sama-sama bisa kita ambil dari sepenggal
kisah pendek yang tidak seberapa di bawah ini. ‘Tersangka’ begitu panggilan
bagi pemilik cerita ini, siapa dia? Sensor, itu permintaannya.. Sebut saja dia
itu adalah si ‘aku’..”
November, 2012. Aku, dimana beberapa kisah terjadi
menerpa kehidupanku. Kenapa mesti aku..? Ya, aku, masa kamu, cukup aku (saja)..
Tapi aku diajari untuk tetap berbaik-sangka terhadap takdir, terhadap ketentuan
Allah. Aku pun mencoba bercerita dan bebagi kisah dengan manusia yang kusebut
sebagai sahabat, layaknya adegan FTV yang curhat sana sini ketika ditimpa
kegalauan. Saat itu, aku merasa memikul beban yang sangat berat, sehingga
terkadang aku merasa lelah dan pegel-pegel menghadapinya. Tanggapan mereka,
sahabat yang menjadi tempatku berbagi cerita pun hanya bisa menggeleng-gelengkan
kepala dengan pelan, sesekali menarik nafas dalam-dalam, memberikan pelukan dan
pukpukan sampai aku merasa sedikit tenang. Terima kasih, sahabatku.. Ya, aku
maklumi, itulah tindakan terbaik mereka ketika mereka buta dengan keadaan, mereka
yang sama sekali belum pernah mengalami persoalan sedalam ini. Dalam diam dan
hening ketika berakhirnya cerita, hanya ada sepotong do’a di hatiku untuk
mereka. Semoga cukup aku saja tempat mereka mengambil hikmah dan pembelajaran
dari peroalan seperti ini, Allahumma aamiin. Sebuah status Whatsapp salah seorang teman pun cukup menenangkanku, ‘badai pasti
berlalu..’. Sebuah lagu milik salah
satu grup nasyid kesukaanku yang diputarkan oleh kakak yang sekaligus partner kerjaku juga berhasil memupuk
kekuatan bathinku, ‘EdCoustic – Jalan Masih Panjang’ yang menjadi lagu utama di
playlist music player komputerku. Mulai dari hari itu, aku merasa harus
hidup selayaknya aku hidup biasanya..
Tertawa. Hal itu
yang tak pernah lepas dari bibirku, sampai akhirnya hadirlah senyuman kecil
yang buram selepas tawaku itu. Diselipkan oleh hembusan nafas yang sangat dalam
tentunya. Aku merasa hidupku selama ini sudah ter-cover penuh dengan tawa. Sahabatku mengenalku yang penuh tawa,
temanku mengenalku yang penuh tawa. Mungkin hanya keluargaku saja yang sering
melihat wajah senduku lebih dalam, bahkan sangat dalam. Ya, itulah keluarga,
lebih dari segalanya.
Itulah sebabnya,
aku menanamkan pemahaman di dalam hati bahwa keluarga kecilku nanti lebih dari segalanya, dunia dan akhirat,
keluarga adalah imam/makmum, sahabat, teman, partner, segala-galanya.. Aamiin InsyaAllah. Balik lagi ke cerita
tawa-tawaku tadi, sulitnya menghindari ekspresi sedih ketika kita lebih dikenal
orang sebagai orang yang penuh tawa, penuh canda. Aku dipaksa untuk tetap
ceria, apapun badai yang sedang menerpa hatiku. Satu sisi, aku tidak mau
terlihat lemah, aku tidak mau menularkan ‘kelam’ ke setiap keadaan dan
lingkunganku. Bagiku, mereka adalah bagian dari obat senduku, obat sementara.. J
Setelah
melakukan analisis tersembunyi dari hati ke hati, ada juga seseorang yang
memahami ‘kepalsuan’ tawaku. Hebat. Ternyata, dia juga memiliki jenis yang
sedikit sama. Diam bersuara. Disebut seperti itu lebih tapatnya (inspirasi dari
sebuah iklan rokok xxx di pinggir jalan, maaf bukan maksudku mensensor merk,
tapi karena aku lupa itu rokok merk apa sebenernya). Bedanya, dia sungguh-sungguh diam ketika
menghadapi satu atau dua hal yang menimpa hidupnya. Kalau aku, diam juga
(percaya gak..? percaya aja deh..), tapi dalam keadaan dan kondisi tertentu.
Ketika keadaan yang mendukung, hening, sunyi, aku memanfaatkan keadaan itu
untuk berfikir dalam diam, berbicara dan menggambar sketsa hidupku sendiri.
Sesekali ada senyuman, sesekali ada tangisan tak terlihat, sekalinya sudah
tidak tahan pasti aku lari ke kamar mandi dengan alasan kebelet, padahal
kebelet air mata. Awesome! Hidupku
penuh kepura-puraan. (standing applause!!)
Perlu dicatat dan
digaris bawahi dan diberi stabilo warna ungu atau pink juga boleh, sebenarnya
kepura-puraan itu aku lakukan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Seperti itu
pilihanku menghadapi masalah hidup. Ketika awan hitam berada tepat di atas
kepalaku, aku tidak ingin awan cerah di atas kepala orang lain berubah menjadi
hitam karenaku. Biarlah menjadi tugasku untuk mencerahkan sesaat awan hitam
yang senantiasa menari di atas kepalaku tanpa mengganggu awan cerah di atas
kepala orang-orang sekitarku. That’s
better, my mind.
Waktu demi waktu
berlalu, awan hitam tak kunjung move on
dari atas kepalaku. Timbullah perasaan gundahku: aku merasa, hanya akulah
manusia di dunia yang mengalami kepedihan. No
one else. Pahit. Aku bisa tertawa sambil memikul beban dipundakku karena
sekitarku tertawa, ingin selalu tertawa, dan harus selalu tertawa. Sepulangnya
aku dari kantor, hari hampir gelap, energi tawa pun semakin berkurang. Pulang
ke rumah dengan salam “Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh..” dan
dilanjutkan dengan adegan pelukan dengan mama, cium mama. Saat itu rasanya moment yang pas untukku mengalirkan air
mata sepuas-puasnya sambil teriak-teriak, meluapkan apa yang menjadi beban
berat dipundakku sepanjang hari, mama pukpuk-in pundakku seolah-olah berusaha
membantu meruntuhkan beban yang melekat dipundakku, mama ikut menangis dan satu
rumah menangis. Tapi itu hanya sebatas imajinasi tinggat tinggi ku saja, dramatis.
Nyatanya, hanya wajah senduku saja yang mampu ku perlihatkan di hadapan mereka,
hanya sebatas itu. Mereka pun membalas tatapanku dengan tatapan yang sangat
penasaran atas apa yang sedang aku rasakan. Aku tidak ingin membuat rasa
penasaran itu terus berlanjut, aku pun berusaha berfikir melakukan suatu
keisengan yang bisa mengalihkan perhatian pikiran mereka. Berhasil.
Kamar adalah
tempat terindah bagiku, disini aku bebas meluapkan berbagai ekspresi kehidupan
tanpa diketahui oleh siapapun (manusia). Ketika di luar mungkin aku bisa
‘berpura-pura’, tetapi di kamar aku bebas melakukan apapun sesuai isi hatiku. Tas
kerja pun kuletakkan dengan pelan, kupilih untuk berbaring sejenak merehatkan
pundakku yang terasa berat. Kupejamkan mata dan mengingat-ingat kejadian absurd sepanjang hari ini untuk sekedar
mengundang ketawa kecilku. Malam-malam hari adalah waktu yang menakutkan bagiku
saat itu. Bukan karena hantu, gluduk atau maling yang mengancam. Tapi aku takut
hanya karena aku tidak bisa tidur. Ketika mulai muncul secara layar-layar kisah
hidupku, cobaan yang menimpaku, kepura-puraanku di hadapan lingkungan,
kesesakan yang kutahan di depan orang tuaku, kesepianku ketika tidak ada
saudara di sisiku, semuanya adalah ketika aku mulai merasa hanya akulah manusia
di dunia ini yang mengalami kepedihan. Itu adalah masa yang sangat aku
khawatirkan. Jika selimutku bisa berbicara dan berjalan, dia pasti akan
mengundang selimut lainnya satu komplek untuk melakukan aksi unjuk rasa atas
tindakan kekerasan pada selimut yang telah aku lakukan, ya, aku mencekeramnya
dengan sangat kuat ketika bayangan-bayangan kekhawatiran itu mulai muncul.
Maafkan aku, selimutku.. L
Alhamdulillah,
satu-satunya dipikiranku adalah aku memiliki keyakinan yang sangat indah. Aku
memiliki sesuatu yang sangat dekat bahkan lebih dekat dari urat leherku
sendiri. Dimana saat itu aku hanya ingin berlari dan mencari, aku sangat ingin
memeluk-Nya, Allah Tuhan Semesta Alam. Akan sangat indah dan menenangkan jika
aku bisa berbicara tanpa harus diam, berbicara yang sesungguhnya berbicara,
berbicara apa saja yang ingin aku bicarakan tanpa dibatasi karakter seperti Twitter, dibatasi oleh tagihan dan
jaringan internet untuk Facebook-an
atau ng-Blog, dibatasi waktu dan
keadaan ketika curhat dengan manusia. Berbicara dengan yang pantas untuk aku
bisa berbicara, apapun, berapapun lamanya hanya pada Allah SWT.
Hanya saat aku
berbicara pada-Nya-lah aku bisa merenung, menangis tanpa khawatir besok mataku
akan bengkak (masih ada eye liner dan
kacamata yang bisa dimanfaatkan untuk menutupi mata bengkak: pikirku saat itu).
Muhasabah yang indah terhadap diri sendiri dan diri-diri lain yang ada di
hidupku. Mencoba mengerti arah dan jalan pikiran dan hatiku, apa yang salah
atas tindakanku selama ini, mengapa aku begitu lemah, mengapa hal ini terjadi
menimpaku?? Semua itu terjawab, karena Allah menyayangiku. Ya, sesingkat dan
sedalam itu. Allah ingin mengajariku tentang arti bersyukur, arti kesabaran,
arti ketegaran dan kedewasaan. Allah tidak ingin usiaku terus bertambah tanpa
ada isi yang bertambah pula. Allah ingin meningkatkan kualitas iman dan hidupku
dengan menghadirkan cobaan sebagai teguran, Alhamdulillah.
Hari-hari
berlalu, aku mencoba tersenyum di depan cermin. Berpikir dan membayangkan
seperti apa sih senyumku itu..? Mulai dari senyuman yang datar, senyuman terpaksa,
senyuman yang manis, senyuman imut sampai senyuman kena stroke seperti difoto-foto anak remaja jaman sekarang. Akupun tertawa
geli sendiri dan bergegas bersiap menghadapi hari. Satu senyuman manis pertama
pagi itu kupersembahkan untuk pria yang kucintai pertama kali, papa. Kulihat
sinar matanya bahagia melihat tingkahku, aku lega karena sudah mengurangi
sedikit rasa khawatir di hatinya, senyumanku itu yang memberi arti bahwa aku
baik-baik saja, Alhamdulillah.
Aku mulai berani menghapus
persepsi bahwa hanya akulah manusia di dunia yang mengalami kepedihan. Akupun
mulai berani membuka diri, berkomunikasi dan berbagi kisah kepada teman dan
saudara-saudaraku yang jauh. Aku mulai berperan sebagai pendengar setia untuk
orang lain atas segala kisah-kisahnya, aku ingin merasakan apa yang dirasakan
olehnya, terutama kepedihannya. Aku mulai sadari, masih banyak orang lain yang
jauh lebih pelik masalahnya. Selama ini aku kurang bersyukur, aku mulai belajar
mensyukuri setitikpun nikmat yang telah anugerahi Allah kepadaku. Dengan itu,
aku merasa bahwa aku tidak pernah sendiri. Beberapa part kisah hidup ini kupetik menjadi pelajaran berharga yang selalu
kutunggu hadirnya hikmah terindah dari rencana Allah untukku. Setiap manusia
memiliki ujian dan cobaan yang sesuai dengan tingkatan kesanggupannya
masing-masing. Seperti itu halnya yang menimpaku, semua pasti sesuai dengan
tingkat kesanggupanku, InsyaAllah. Tidak ada alasan lagi untuk aku merasa,
bahwa hanya akulah manusia di dunia yang mengalami kepedihan..
Sekian.
Wassalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh J
4 comments
T.T
ReplyDeleteAwesome !
ceritanya sangat inspiratif dan menyentuh.. sampe meler bacanya. (read: Pilek).hehe
"Aku mulai berani menghapus persepsi bahwa hanya akulah manusia di dunia yang mengalami kepedihan". <--- yaapp, masih banyak org2 diluar sana yg mengalami kepedihan yg sama atau bahkan labih pedih dr kisah 'aku'.
tenang lah 'aku', di balik kesulitan pasti akan dtg kemudahan.. insya Allah di balik kejadian pasti akan hikmahnya.. teruslah berjalan hingga kau menemukan cahaya terang di setiap kegelapan yg kau lalui..
Pelangi tak akan lelah menunggu hujan reda..hingga ia bisa memberikan berbagai macam warna di hamparan langit luas. :)
eh, ngomong2 itu lagu maher semacam dgn lagu yg aku suka laa.. :D
Makasih kamu.. :D
DeleteAamiin, nnti aku sampaikan pada si "aku" yaa... hehe
Setiap kesedihan yang berhasil sembuh hanya akan membuat kita semakin kuat...
ReplyDeleteTulisan ini seakan bernyawa dan mengajak kepada siapa saja yang membaca agar "Bersyukurlah"...
Wake up . .Stand Up . .Get Up . .Smile to Move Up and Try. ."
Keep writing Yastirefrides -
Yeaahhh .....
DeleteAamiin, Anonim.. maksih yaa... :D